Salah
satu permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah/negara indonesia adalah
kemiskinan, Dewasa ini pemerintah belum mampu menghadapi atau menyelesaikan
permasalahan tersebut, padahal setiap mereka yang memimpin Negara Indonesia
selalu membawa kemiskinan sebagai visi dan misi utama mereka disamping
misi-misi yang lain.
Apa
itu kemiskinan?
Dalam
buku Miskin?Jangan Mau, diterangkan dengan konyol bahwa pengertian
miskin dan ukuran miskin setiap orang relatif contohnya: Ada yang bilang miskin harta nda papa asal kaya hati; ada juga yang
bilang kalau miskin itu kalau kita tidak bisa memenuhi kebutuhan pokok seperti
makan, sandang, papan, ada pula yang bilang makan ndak makan asal kumpul,
selain itu ada juga yang bilang kalau tidak punya uang untuk makan hari ini.
Ada pula yang bilan miskin itu anugerah dan kelak di hari akhir hitungannnya
lebih cepat dan seterusnya. (Sumber: Miskin?Jangan Mau oleh Slamet Karyadi (2008) diterbikan oleh
Elex Media Komputindo di Jakarta).
Tetapi,
secara fornalnya, istilah kemiskinan tidak sekonyol dan sesederhana itu.
Kemiskinan adalah masalah kompleks yang dihadapi oleh hampir sebagian besar
masyarakat.yang terjadi karena kemampuan masyarakat pelaku ekonomi tidak sama, sehingga
terdapat masyarakat yang tidak dapat ikut serta dalam proses pembangunan atau
menikmati hasil-hasil pembangunan.
Berdasarkan
Undang-Undang No. 24 Thn 2004, kemiskinan adalah kondisi sosial ekonomi
seseorang atau sekelompok orang yang tidak terpenuhinya hak-hak dasarnya untuk
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Kebutuhan dasar
yang menjadi hak seseorang atau sekelompok orang meliputi kebutuhan pangan,
kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber
daya alam, lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak
kekerasan, dan hak untuk berpartisippasi dalam penyelenggaraan kehidupan sosial
dan politik. (Sumber: Undang-Undang No 24 Tahun 2004)
Mengapa Indonesia miskin? Padahal,
jumlah rakyatnya banyak. Banyak yang berbakat, cerdas dan mau bekerja keras
untuk mengembangkan diri dan bangsanya. Kekayaan alam pun berlimpah ruah. Kita
memiliki minyak, gas dan beragam logam sebagai sumber daya alam yang siap untuk
diolah. Kita memiliki tanah yang subur yang siap ditanami beragam jenis
tanaman. Kita memiliki hutan yang luas yang bisa memberikan udara segar tidak
hanya untuk bangsa kita, tetapi untuk seluruh dunia. Akan tetapi, mengapa kita
masih miskin, walaupun kita memiliki itu semua?
Menurut Data Statistik tahun 2016, dikatakan bahwa angka garis kemiskinan semakin
tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka penduduk miskin per
September 2016. Berdasarkan catatan BPS, angka penduduk miskin di Indonesia
menurun sebesar 250 ribu jiwa menjadi 27,76 juta penduduk. Selain itu, Garis
kemiskinan selama Maret 2016-September 2016 juga meningkat rata-rata sekitar
2,15 persen. Untuk kategori pedesaan, garis kemiskinan berada pada level
Rp 350.420. Adapun kategori perkotaan berada pada level
Rp 372.114. Garis Kemiskinan dipergunakan sebagai suatu batas untuk
mengelompokkan penduduk menjadi miskin atau tidak miskin. Penduduk miskin
adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di
bawah Garis Kemiskinan,
Mengapa Kita “Miskin”?
Sebagai bangsa, kita tetap
“miskin”, karena lembaga publik kita tidak memiliki mentalitas dan budaya yang
cocok untuk melayani rakyatnya. Kita juga hidup dalam bayang-bayang asing, baik
dalam tingkat politik, ekonomi maupun tata nilai (Barat dan Timur Tengah).
Secara kualitatif, mutu berpikir dan kemauan bekerja orang Indonesia setara
dengan beragam negara lainnya, bahkan mungkin lebih baik dalam banyak hal. Jika
kita bisa “memaksa” lembaga publik kita untuk menjalankan fungsinya sebaik
mungkin, dan bersikap kritis terhadap beragam pengaruh asing yang masuk, maka
jalan menuju keadilan dan kemakmuran bersama di Indonesia terbuka luas.
Selain itu, faktor mendasar yang menyebabkan
kemiskinan diantaranya: SDM, SDA, Sistem, dan juga tidak terlepas dari sosok
pemimpin, sehingga dimensi tersebut sangat berkaitan antara satu dengan yang
lainnya.
PAJAK SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR PEMBERANTAS KEMISKINAN
Sri
Mulyani Indrawati, selaku Menteri Keuangan berkata, bahwa untuk mengikis problem sosial yakni kemiskinan ini, pemerintah
akan berfokus pada dua hal penting. Pertama, memberikan pelayanan mendasar
bagi seluruh rakyat, terutama bagi keluarga miskin dan rentan miskin. Kedua,
pembenahan kebijakan fiskal, yakni dalam hal perpajakan. Katadata.co.id
Beliau (Sri Mulyani) juga mengatakan betapa urgensinya dan begitu pentingnya
untuk menjadikan perpajakan itu sebagai tulang punggung yang mendesak bagi
negara ini karena pajak merupakan identitas bagi sebuah negara yang menyatakan
dirinya negara berdaulat. Hal itu pula yang mendasarinya dalam membuat
kebijakan mengenai Tax Amnesty.
Rasio
penerimaan pajak yang relatif rendah yakni 10,9 persen pada 2014, menyebabkan
upaya percepatan menurunkan angka kemiskinan di Indonesia melambat dalam
sepuluh tahun terakhir.
Kesenjangan juga menjadi masalah utama di Tanah Air dimana satu persen penduduk Indonesia menguasai 50 persen aset negara.
Kesenjangan juga menjadi masalah utama di Tanah Air dimana satu persen penduduk Indonesia menguasai 50 persen aset negara.
Berdasarkan
data Kementerian Keuangan, angka kemiskinan di Indonesia pada Maret 2016
sebesar 10,86 persen dengan rasio gini 0,40.
Menurut Statistik Indoesia, ketimpangan
masyarakat perkotaan masih lebih tinggi dibanding perdesaan. Badan Pusat
Statistik (BPS) merilis bahwa angka ketimpangan (Gini Ratio) pada September
2016 mengalami penurunan tipis untuk kategori
perkotaan maupun pedesaan, demikian pula juga secara
nasional. Rasio gini perkotaan tercatat sebesar 0,409 dan perdesaan
sebesar 0,316. Sedangkan secara nasional, rasio Gini tercatat sebesar 0.397.
Meski mengalami penurunan, namun angka ketimpangan di perkotaan dirasa masih
tinggi.
Tanpa
ada penerimaan pajak, kata Menkeu, sulit bagi pemerintah untuk membuat program
pengentasan kemiskinan yang bisa menjamin kesejahteraan bagi setiap warga
negara sekaligus mewujudkan kehidupan bangsa yang berbasis gotong royong.
Fakta
itulah yang kemudian mendorong pemerintah melakukan reformasi bidang perpajakan
dengan meluncurkan program amnesti pajak. Kebijakan yang akan diikuti dengan
revisi UU perpajakan, peningkatan kompetensi aparat pajak, serta perbaikan
teknologi informasi ini ditujukan untuk membangun tradisi kepatuhan masyarakat
membayar pajak.
Tentang Kebijakan Tax Amnesty (Amnesti Pajak)
Kebijakan pengampunan
pajak atau tax amnesty dinilai menjadi kebutuhan
mutlak bagi Indonesia untuk membiayai pembangunan dan pengentasan kemiskinan untuk
rakyat kecil. Dana-dana hasil repatriasi bisa menambah penerimaan negara guna
mendorong ekonomi menjadi lebih bergairah dan berdampak pada pengentasan
kemiskinan.
Pengamat
pajak dari Universitas Indonesia (UI) Darussalam menjelaskan, sebenarnya
manfaat kebijakan pengampunan pajak ini sangat banyak buat masyarakat luas terutama
bagi masyarakat miskin karena dengan dana hasil pemanfaatan pengampunan pajak
yang sangat besar ini diharapkan menambah modal pemerintah untuk mempercepat
program pembangunan, sehingga dapat mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Ia juga
mengatakan bahwa pengampunan pajak merupakan kebijakan umum yang dilakukan
banyak negara di dunia. Mulai dari negara berkembang seperti India sampai
negara maju seperti Italia, Perancis, Jerman, dan Amerika Serikat (AS),
sehingga ini menunjukkan tax amnesty merupakan hal yang wajar sebagai suatu
kebijakan pajak.
Pemberlakuan
kebijakan tersebut tidak lepas dari rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak
pada suatu negara. Seperti Indonesia, tingkat kepatuhan wajib pajak dalam
menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) masih sangat rendah, karena urgensi tax
amnesty adalah membangun babak baru sistem perpajakan Indonesia yang tujuannya
untuk membangun kepatuhan wajib pajak yang ujung-ujungnya untuk meningkatkan
penerimaan pajak,
Dalam Data Statistik, dijelaskan bahwa
Jumlah SPT (Surat Pemberitahuan) Tahunan pajak pada 2017 mencapai 9,7 juta
wajib pajak (WP) untuk orang pribadi dan badan. Jumlah tersebut terdiri
atas 7,6 juta SPT elektronik dan 2,1 juta SPT non elektronik. Sementara pada
2016 tercatat pelaporan SPT mencapai 9,45 juta, yang terdiri atas 5,9 juta SPT
elektronik dan 3,5 juta SPT non elektronik. Rasio kepatuhan pelaporan SPT
Tahunan wajib pajak pada 2017 sebesar 58,47 persen. Dimana WP yang terdaftar
wajib SPT mencapai 16,6 juta, tapi realisasi pelaporan hanya mencapai 9,7 juta
SPT. Adapun capaian rasio kepatuhan mencapai 77,96 persen dari target pelaporan
SPT 2017 sebanyak 12,45 juta.
APAKAH TAX AMNESTY KURANG AMPUH MENANGANI MASALAH
KEMISKINAN INDONESIA?
Badan
Pusat Statistik (BPS) menilai, program pengampunan pajak atau tax
amnesty yang diusung pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kurang
ampuh mengatasi kemiskinan di Tanah Air. Saat ini, jumlah penduduk miskin di
Indonesia telah mencapai 28,01 juta jiwa.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS M
Sairi Hasbullah mengatakan, kebijakan makro seperti tax amnesty tidak akan
secara langsung berpengaruh terhadap angka kemiskinan di Indonesia. Butuh waktu
lama untuk kemudian memberikan dampak terhadap kemiskinan. Menurutnya, dampak
program tax amnesty terhadap angka kemiskinan baru akan terasa setelah tiga
hingga empat tahun kebijakan tersebut digulirkan. Sebab, program tersebut lebih
dulu menstimulus pertumbuhan ekonomi baru kemudian akan berdampak ke sektor
lainnya.
Indonesia dalam Angka menjelaskan realisasi dana repatriasi amnesti pajak periode Agustus-Desember 2016 senilai Rp 112,2 triliun. Jumlah ini berarti kurang Rp 29 triliun dari realisasi yang tercatat dalam statistik amnesti pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebesar Rp 141 triliun.
Ketidakefektifan Tax Amnesty juga dijelaskan
dalam Data Statistik bahwa hingga
akhir Februari 2017, hanya 680 wajib pajak yang mengikuti program Tax
Amnesty. Jumlah tersebut sangat kecildibanding jumlah wajib pajak
sebanyak 32 juta dan wajib pajak yang wajib melapor SPT sebanyak 29 juta
orang. Program ini paling banyak diikuti oleh wajib pajak di wilayah Jawa dan
DKI Jakarta.
Program amnesti pajak
(tax amnesty) resmi berakhir pada 31 Maret 2017. Hingga penutupan
pada 31 Maret 2017, pelaporan harta peserta program Tax Amnesty (amnesti
pajak) mencapai Rp 4.866 triliun. Pelaporan tersebut terdiri dari
deklarasi dalam negeri sebesar Rp 3.687 triliun, deklarasi luar negeri Rp
1.032 triliun, dan repatriasi Rp 147 triliun. Direktorat Jenderal Pajak
mencatat penerimaan negara dari program Tax Amnesty mencapai
Rp 135 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari uang tebusan, pembayaran bukti
permulaan dan pembayaran tunggakan pajak. Sayangnya, jumlah tersebut tidak
sesuai dengan target yang ditetapkan pemerintah sebelumnya senilai Rp 165
triliun. Hal ini tergambarkan dalam Statistik Indonesia, tentang penerimaan negara dari program amnesty pajak.
Pasca amnesti pajak, Presiden Joko
Widodo (Jokowi) meminta reformasi perpajakan segera dimulai. Beberapa hal yang
menjadi bagian dari reformasi pajak tersebut adalah revisi Undang-Undang (UU)
yang mengatur Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) serta UU yang mengatur Pajak
Penghasilan (PPh). Selain itu, wacana untuk membuka data nasabah akan
segera diatur dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(Perppu). Aturan ini akan menjadi senjata baru bagi Diretorat Jenderal
Pajak.
Tidak hanya dalam pengentasan
kemiskinan, pajak juga masih menjadi jantung bagi pendapatan negara. Statistik Indonesia juga
menjelaskan bahwa Pendapatan Negara masih andalkan pajak. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) 2017, Pemerintah menargetkan pendapatan negara sebesar Rp 1.750,3
triliun. Dari angka tersebut, pendapatan pemerintah masih mengandalkan pajak
untuk membiayai pembangunan dan gaji pegawai. Sebesar 85,6 persen atau Rp 1.498
triliun anggaran pendapatan negara berasal dari pajak. Sekitar 14,3 persen
atau sekitar Rp 250 trilun berasal dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP),
dan 0,1 persen atau sekitar Rp 1,4 triliun berasal dari hibah.
Peran pajak sebagai alat untuk
mengatur kebijakan sosial dapat dilihat dari sistem perpajakannya yang dapat
dikatakan efektif apabila pajak mampu memberikan manfaat maksimal bagi
pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini akan terjadi apabila
jumlahnya memadai, sehingga mampu menopang berbagai kegiatan pemerintah untuk
melakukan fungsi pemerintahan dan pelayanan publik. Selain jumlah yang memadai,
strukturnya pun mencerminkan keadilan dalam perpajakan artinya orang-orang yang
berpendapatan lebih tinggi dikenakan beban pajak yang tinggi dibandingkan
orang-orang yang berpendapatan lebih rendah. Selanjutnya penggunaanya tepat
sasaran, Tugas pemerintah meyakinkan masyarakat apabila pajak yang dipungut
dari masyarakat memenuhi asas keadilan dalam perpajakan dan akan kembali kepada
masyarakat berupa sarana dan prasarana umum. Serta tugas masyarakat adalah, taat pajak, agar pembangunan serta perekonomian negara menjadi makin baik, dan kemiskinan bisa teratasi. Karena: Orang Bijak, Taat Pajak! ^^
Komentar
Posting Komentar